Pembahasan kapitalisme merupakan suguhan yang bersifat niscaya bagi mahasiswa aktivis organisasi pergerakan – yang masih berpihak pada rakyat; lain kata, yaitu organisasi yang masih optimis terhadap dunia. Hemat saya, dialog tentang kapitalisme, terlepas dari penting tidaknya, muncul setelah terjadi persentuhan realitas objektif kapitalisme dengan kesadaran-diri manusia. Artinya, ke-ada-an mahasiswa aktivis bersentuhan dengan yang-ada-di luar dirinya; pertemuan antara subjek yang-sadar dengan objek yang-disadari keberadaannya; Surti menampar Tejo.

Setelah bergabung dengan organisasi pergerakan di kampus, bermula dari situ saya terlibat langsung dengan beragam aksi serta dialog-dialog panjang semalaman. Dari dialog-dialog tersebut, ada satu hal yang membuat saya mengerutkan dahi keheranan: yakni dialog tentang bagaimana cara mahasiswa aktivis melawan kapitalisme? Dialog ini – bagi saya pribadi – menarik untuk diikuti, dan yang lebih penting yaitu menjawabnya. Tapi, apakah mungkin? Lalu bagaimana?

Titik persoalan di sini ialah bahwa dari dialog tersebut melahirkan jawaban akhir (baca: asumsi) untuk melawan kapitalisme, yaitu dengan menjadi kapitalis itu sendiri (pedagang “baik” lawan pedagang “jahat” atau kapitalis “baik” lawan kapitalis “jahat”). Asumsi demikian, mengandaikan bahwa untuk melawan penindas saya mesti menjadi penindas “baik” terlebih dahulu. Asumsi tersebut akan menguat dengan sendirinya jika tak segera dikoreksi. Tugas utama saya di sini, ialah mencoba meliriknya secara diam-diam.  Karena asumsi itu beranjak dari spekulasi subjektif, dengan demikian saya menjawabnya dengan spekulasi matematis.

Saya akan memulai dari sini. Pertama, saya perlu menelusuri kondisi mengapa asumsi tersebut dapat terbentuk. Sama hal dengan membaca buku, saya rasa, membaca tanpa mengetahui konteks sosio-historis si penulis/penutur kita akan mudah keliru dalam menginterpretasi apa sebenarnya yang dimaksud. Konteks sosio-historis penutur penting untuk diungkap di sini, sebab dari situ secara tidak langsung akan mengondisikan terbentuknya asumsi di atas.

Memahami kapitalisme kontemporer, tentu tidak semudah hanya membaca tulisan Marx-Engels, Lenin, maupun Mao. Semasa hidupnya, Marx mungkin sudah cukup puas melihat kereta uap, mesin tenun ataupun mesin ketik. Semisal Marx bangkit dari kubur di tahun 2017 dan tiba-tiba berada di tengah-tengah kota Jakarta. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Marx akan kaget karena kagum atau Marx akan menangis sambil mengusap ingus di kumis lusuhnya. Saya yakin reaksi Marx terdapat pada kemungkinan kedua. Marx sejauh yang saya ketahui, bukan seperti milenial yang terkagum-kagum senang melihat segala kemajuan teknologi di muka bumi ini, ataupun meloncat-loncat kegirangan karena mendapat follow oleh selebriti serupa Maudy Ayunda di Instagram. Marx tentu akan tetap pada karakternya yang kritis melihat realitas sosial yang ada. Sebaliknya, karena Marx adalah manusia, ia akan bersedih layaknya seorang anak yang keinginannya tak terturuti.

Pengandaian ini mungkin terasa tidak adil. Sebab, saya mengandaikan Marx bangkit dari kubur –tanpa kehilangan ingatan sama sekali– dan tiba-tiba berada di tengah-tengah kota Jakarta di tahun 2017. Sedangkan mahasiswa aktivis ini berada di Indonesia sejak ia masih berbentuk sel-sel sperma. Mereka adalah manusia-manusia yang lahir pada penghujung abad ke-20 dengan tingkat kemajuan teknologi yang mutakhir. Jika Marx senasib dengan mahasiswa aktivis ini, kemungkinan Das Capital tidak akan tercipta sama sekali. Ucapan maaf kepada kaum Marxis karena saya telah berandai-andai di sini.

Mahasiswa aktivis ini – meskipun hidup pada zaman sekarang – masih beruntung dapat mengenal kapitalisme, baik itu karena proses pembacaan realitas maupun sekedar mendengar seniornya berdiskusi. Tentu bahwa pengertian kapitalisme ia dapatkan dari pengertian tradisionalnya (nilai-lebih dihisap oleh pemilik modal, penguasaan alat produksi oleh pemilik modal, kapitalis mengisap kerja buruh) maupun pengertian pada sisi etisnya (kapitalis serakah, kapitalis menjarah ruang produksi usaha kecil, kapitalis tidak adil). Pengertian terakhir ini merupakan pengertian yang paling mudah dicerna bagi para mahasiswa aktivis. Meskipun pengertian tersebut mudah dicerna, tetapi masih nampak sangat wajar dalam kehidupan sosial para mahasiswa aktivis. Kewajaran ini dipengaruhi oleh cara pandang umum masyarakat, seperti: hidup ini adalah kompetisi (kompetisi antar individu dalam aktivitas ekonomi), kesuksesan berada pada titik kekayaan individu, tingkat ekonomi diukur oleh pendapatan berdasarkan kriteria World Bank, serta alat produksi wajar dimiliki oleh satu atau beberapa individu saja. Bagi mahasiswa aktivis yang sama sekali tidak mengerti masalah ekonomi dan politik – seperti mahasiswa aktivis asal eksakta – mereka akan cenderung melirik pengertian kapitalisme pada sisi etisnya saja. Dalam hal ini saya sepakat bahwa sosial lah yang mengondisikan individu (Marx dalam Suryajaya, 2016).

Pandangan umum demikian tidak dengan spontan muncul secara alami di dalam masyarakat, akan tetapi dipengaruhi oleh proses sejarah: khususnya sejarah kekuasaan rezim Soeharto.

Di Indonesia, meskipun bangunan rezim soeharto telah lama runtuh, tapi sejatinya pondasi bangunannya masih tertanam dengan kokoh. Tak pelak, virus rezim Soeharto, juga, berhasil menjadikan institusi pendidikan tinggi sebagai inangnya. Dengan konsep “modernitas” dan “pembangunan” a la Soeharto mengimplikasikan tertutupnya kemungkinan munculnya konsep modernitas dan pembangunan alternatif. Faktar tersebut ditandai oleh adanya jargon-jaron anti-komunis, pelarangan gerakan radikal, pelarangan wacana Marxisme, dan lainnya. Implikasi dari hal tersebut tentu meninggalkan korban, yakni generasi milenial. Semenjak mahasiswa aktivis terlempar ke bumi, mereka akan segera diinfeksi oleh virus-virus rezim Soeharto melalui lingkungan sosialnya, baik itu keluarga maupun media massa. Hal terpenting yang patut kita perhatikan, yaitu mundurnya kritisisme di kalangan mahasiswa (Baca: Laksana). Langgengnya hegemoni rezim Soeharto memperparah kondisi mahasiswa aktivis dalam menginterpretasi realitas di era kontemporer (khususnya kalangan eksakta). Ada kemunduran episteme dalam ranah intelektual. Paradigma berpikir yang terlampau serampangan mengakibatkan keberadaan fakta-fakta di luar dirinya tak tercerna dengan memadai. Alhasil, Pewacanaan melawan kapitalisme justru terjebak dalam nilai-nilai moral semata. Seperti yang saya alami pribadi pada saat berdiskusi, “Bahwa si kapitalis salah karena ia menindas dan serakah” merupakan kata-kata yang sering saya dengar. Tetapi tidak melibatkan analisis kritis ekonomi-politik. Oleh karena itu, hegemoni rezim Soeharto berhasil mengkebiri sikap kritis sebagian mahasiswa aktivis dalam memahami kondisi sosial politik. Sebagai pembuktian, coba pembaca sekalian meluangkan waktu berjalan-jalan sejenak ke ruang-ruang di dalam kampus dan menginisiasi suatu diskusi singkat terkait kehidupan sosio-politik kontemporer. Pembaca akan mengerti apa yang saya maksudkan.

Paradigma kapitalisme yang umum telah termanifestasi dalam kehidupan mahasiswa aktivis – terkhusus dalam mengenali antitesanya (sosialisme), saya rasa cukup sulit, mengingat bahwa logika kapitalisme telah tertanam sejak lama dan mengakar kuat pada sebagian mahasiswa. Paradigma tersebut berimplikasi pada sulitnya dalam melihat model-model pemikiran baru, semisal sosialisme yang terdengar berangan-angan dan utopis. Maka seorang mahasiswa aktivis, guna untuk merealisasi hasrat “baik”-nya – yang berlandaskan nilai moral – akan mencari jalan alternatif lain. Secara sederhana, asumsi melawan kapitalisme dengan menjadi kapitalis itu sendiri, merupakan jalan alternatif baru untuk merealisasi hasrat “baik”-nya.

Kita telah menelisik kondisi sosio-historis mengapa logika tersebut dapat terbentuk. Kedua, kita akan mencoba membongkar unsur utama – yang telah saya ulas singkat di atas – dari asumsi dimuka serta melihat implikasi-implikasinya.

Asumsi melawan kapitalisme dengan menggunakan paradigma kapitalisme (menjadi kapitalis), menurut saya, mengandung unsur nilai-nilai moral, etis, psikologis (unsur kasihan terhadap kaum tertindas). Hal ini terkait erat dengan pendidikan karakter di institusi pendidikan. Suguhan nilai-nilai moral – yang membludak – berhasil mendominasi rasionalistas. Ketidakseimbangan ini menumbuhkan bibit-bibit baru yang unggul (manusia-manusia yang taat terhadap sistem). Tentu nilai-nilai moral ini syarat akan kepentingan dari sistem yang mendominasi, yakni, untuk melanggengkan kekuasaan.

Bukan hal baru bagi para mahasiswa aktivis umumnya. Menjadi seorang kapitalis tentu memiliki paradoks dalam gerakannya untuk melawan sistem kapitalisme itu sendiri. Pertama, ia akan mencoba memposisikan dirinya sebagai pemilik modal dan tentunya membutuhkan kelas pekerja yang akan menopang bisnisnya. Kaum kapitalis “baik” perlu untuk dapat bersentuhan langsung dengan kaum kapitalis “jahat”. Artinya, sebelum ia bersentuhan langsung, kapitalis “baik” terlebih dahulu membutuhkan mediasi. Mediasi ini yaitu pasar, dan hanya dengan pasar, kapitalis “baik” memiliki kesempatan berjumpa dengan lawannya, si kapitalis “jahat”.

Kontradiksinya mulai terlihat dari sini, bahwa kita tahu pasar niscaya profit-oriented/capital-oriented. Pasar yang dimotori oleh para kapitalis cenderung menyediakan ruang kompetisi untuk melakukan proses akumulasi modalnya –terlepas dari bagaimana cara pencapaiannya. Dengan begitu kapitalis “baik” dengan kapitalis “jahat” ini akan adu kekuataan dalam sistem pasar saat ini. Berbagai implikasi akan bermunculan dalam arena adu jotos ini, antara lain, perebutan sumber daya, ekspansi kapital, efisiensi produksi, konsumerisme, serta tetek bengek lainnya. Tentu implikasi yang saya sebutkan memiliki ongkos yang sangat besar pula untuk mencapainya. Sosok utama yang dikorbankan untuk mencapai hal di atas yaitu kerja buruh ataupun buruh itu sendiri. Dengan kata lain kerja buruh akan tetap terhisap oleh kapitalis dan mengorbankannya, demi menandingi kapitalis “jahat”, dalam arena adu jotos tersebut. Meskipun kapitalis “baik” mencoba mengangkat harkat dan derajat buruhnya, tetap saja itu tak berarti apa-apa. Karena dalam laku produksi kapitalisme, alienasi tetap tak terhidarkan. Buruh sebagai manusia akan tetap tercerabut dari kemanusiaannya melalui “eksternalisasi kerja” (Marx dalam Suryajaya, 2016, hal 40-47).

Paradoks di atas tidak hanya dapat dilihat dari hasil aktivitasnya saja, melainkan juga dari proses internal pelakunya. Seorang aktivis gerakan, jika ia menjadi kapitalis “baik” terlebih dahulu untuk melawan kapitalis “jahat”, niscaya akan bersandar pada nilai moral dan psikologisnya (untuk tetap sadar akan keburukan sistem kapitalisme). Berpegang pada tali tipis relasi  antara nilai moral dan dirinya justru akan melumpuhkan gerakannya sendiri. Meski demikian, nilai moral ini, tidak muncul dari proses internalisasi diri dari keadaan, melainkan, keadaanlah yang mengobjektifasinya; dengan kata lain, nilai moral ini terberi pada subjeknya dari luar dirinya (baca: indoktrinasi nilai); atau nilai ini lah yang membentuk subjek, bukan subjek yang membentuk nilai. Seperti yang saya ungkap di atas bahwa akan terjadi adu jotos dengan kapitalis “jahat” dengan syarat si kapitalis “baik” harus masuk ke dalam dunia kapitalis “jahat”. Penarikan ini akan syarat dengan perubahan sisi psikis si kapitalis “baik”. Karena pengaruh dunia kapitalis “jahat”, nilai-nilai moral si kapitalis baik yang lama akan cenderung bergeser kepada nilai-nilai moral yang baru; nilai moral yang mengondisikan subjek. Pergeseran nilai moral lama menuju ke yang baru akan mempengaruhi cara pandang subjek terhadap kapitalisme itu sendiri. Selanjutnya, ia akan terjerumus dalam palung kapitalisme yang sangat dalam.

Seperti yang telah saya katakan di muka, bahwa asumsi tersebut beranjak dari spekulasi subjektif, maka saya akan mengatasinya menggunakan logika matematis sederhana: A + B = C. Di sini, anggap saja prinsip tersebut merupakan pengandaian keselurahan realitas sosial. A berbeda dengan B, dan C adalah hasilnya. Di sini A dan B merupakan komponen realitas sosial di bumi, yaitu C (hasilnya). Saya menggunakan hukum identitas: A = A; A ≠ B; A jika ditambahkan dengan sesamanya maka akan menjadi C yang senilai dengan 2A, begitu pula dengan B. A saya andaikan sebagai kapitalisme dan B merupakan proposisi baru yang ditawarkan oleh aktivis mahasiswa, lalu C merupakan hasil penjumlahan dari A dan B. Setelah kita memahami ketentuan dari prinsip tersebut, maka kita akan mencoba memecahkan asumsi melawan kapitalisme harus menjadi kapitalis itu sendiri yang niscaya menganut pandangan kapitalisme. Jika kita mengganti komponen tersebut berdasarkan ketentuan di atas, maka akan menjadi A + A = C = 2A. Maka kapitalisme jika ditambah dengan kapitalisme akan sama dengan C atau setara dengan 2 kapitalisme (tidak ada perubahan). Jika realitas sosial yaitu C hanya tersusun dari A saja, maka yang akan ada hanya kapitalisme saja. Untuk merubah realitas dunia, kita perlu untuk tetap menggunakan komponen lain yaitu sosialisme (tandingan kapitalisme). Sehingga realitas sosial atau C tidak tersusun atas komponen tunggal saja, melainkan tersusun atas komponen yang berbeda. Apalagi, komponen realitas tersebut hanya tersusun dari B saja, maka tentu realitas sosial akan menjadi Sosialisme saja. Pertanyaannya, Apakah sebenarnya realitas dunia (dalam hal ini realitas sosial) dapat di rumuskan seperti di atas? Tentu tidak. Perumusan di atas hanya suatu pengandaian matematis untuk mengonstruksi cara berpikir logis. Akan tetapi, saya mengakui sendiri bahwa pengandaian di atas jauh dari kata tepat. Pada saat proses pengandaian, saya tidak mengungkap sifat-sifat komponen penyusun tersebut (dalam hal ini A dan B) sebagai penentu nilai C. Tentu sifat-sifat komponen ini penting dalam menyusun nilai akhirnya. Semisal, agar mudah dibayangkan, nilai A dan B tidak serta merta berbentuk bilangan asli, melainkan memiliki potensi terbentuk, baik dalam bentuk aljabar, eksponen, integral dan lain-lain, yang sangat rumit. Secara mendasar, realitas tentunya sangat kompleks. Pendengan subjektif nan matematis memiliki kekurangan dalam konteks menjelaskan dunia riil. Pendekatan pengetahuan a priori telah banyak terbantahkan oleh kalangan materialis dialektis. Meski demikian, pendekatan ini tentu memiliki peranan penting dalam menyelesaikan beberapa masalah – khususnya kasus dalam dunia sains. Setidaknya pengetahuan a priori pernah membawa manusia ke hal yang-benar.

Dengan demikian, nampak sudah kontradiksi dari asumsi yang sudah diulas. Melawan kapitalisme tentu tidak serta merta dapat dilakukan dengan menjadi kapitalis itu sendiri. Justru dengan menjadi kapitalis, mahasiswa aktivis sama saja dengan membunuh dirinya. Serangan yang dilancarkan malah akan berbalik menyerang niat baiknya, bahkan lebih buruk lagi, menyerang dirinya sendiri. Dari ulasan di atas, melawan kapitalisme tentu tidak semudah melawan dengan tangan kosong. Para mahasiswa aktivis perlu mempersenjatai dirinya dengan pedang yang tajam, atau apapun yang lebih baik dari bumerang. Seperti analogi yang saya gambar di muka. Anggaplah diri kalian adalah Marx yang bakit dari kubur tanpa meninggalkan kritisisme, dan yang paling penting jangan lupa bercukur.

 

Daftar Pustaka

Laksana, Ben. 2017. Pendidikan, Pembangunan dan Kesadaran Kritis. Diakses tanggal 29 Agustus 2017 https://indoprogress.com/2017/07/pendidikan-pembangunan-dan-kesadaran-kritis/

Suryajaya, Martin. 2016. Teks-Teks Kunci Filsafat Marx. Resist Book: Yogyakarta

 

Oleh:Firmansyah Sundana, pejuang kemerdekaan di warung kopi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here