Karakter Bangsa dan Perangkap Ideologisasi

Kita semua tahu bahwa karakter bukan bawaan lahir. Dia dibangun dalam kesadaran diri dengan proses seleksi yang panjang selama perjalanan hidup dan dijalani dengan kesungguhan dan bertanggungjawab atasnya. Sebagai seorang warganegara dalam sebuah negara yang sedang mencari bentuk paling ideal mempraktekkan segala kekayaan sistem nilai yang dimilikinya, kita menemukan tantangan terbesar arus demokratisasi tidak hanya pada isu-isu yang secara teritorial dan konseptual membutuhkan negosiasi praktis. Kita diperhadapkan juga pada realitas di mana ide-ide besar tentang bangsa dan negara itu sendiri dipertanyakan fungsi pentingnya dalam menguatkan sistem nilai komunal yang berkembang. Ideologi tak bisa hanya dipahami dari konsepsi tentang kewarganegaraan lagi. Ideologi kadang bisa menjadi perangkap bagi sistem nilai. Sebagaimana telah lama pernah diingatkan oleh Anderson bahwa kesalahan fatal memahami bangsa yang terbangun dari fondasi sistem nilai komunal seperti kebebasan dengan gerakan ideologisasi dalam konsep negara yang cenderung bicara soal kekuasaan dan teritori.[i]

Sebagai orang yang mengaku diri Indonesia dan menerima konsensus berasa mengarusutamakan Pancasila sebagai sistem nilai dalam berpikir dan berperilaku kebangsaan, ideologisasi atasnya, yang menempatkannya sebagai mekanisme untuk mendapatkan keuntungan atau menerima hukuman dalam kerangka pikir negara-bangsa, justru akan semakin kontra produktif dengan proses alamiahnya. Yang saya maksudkan adalah, sebuah sistem nilai dalam kehidupan berbangsa itu memang perlu dikelola. Dia penting tidak hanya sebagai identitas, namun juga sebagai penggerak utama perubahan sosial yang dikehendaki bersama. Jadi, ketika perubahan sosial yang dihendaki bersama – katakanlah – telah ditetapkan secara ideologis dalam arah bernegara, maka sistem nilai itu tidak begitu saja bisa digunakan sebagai satu-satu alat untuk mencapainya.[ii] Dengan kata lain, sebuah bangsa bisa terbangun dari akumulasi sistem nilai bersama yang menguat dan menghasilkan karakter tertentu dan selanjutnya menjadi bangunan identitas tertentu, namun sebuah sistem politik bernegara – seideal apapun itu – tidak pernah bisa menghasilkan sebuah sistem nilai yang dengan mudah dapat segera diinternalisasi menjadi nilai komunitas seluas bangsa apalagi menjadi nilai personal.

Pancasila adalah sistem nilai sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Progresifitasnya terletak pada legitimasinya untuk mempertanyakan sistem nilai komunitas di bawahnya dan sekaligus sistem nilai personal warganegaranya. Namun transformasi seperti itu hanya akan tampak produktif jika tidak dijadikan alat politik kekuasaan negara namun tetap sebagai gerakan budaya yang terus menguji ketahanan komunitas yang ada di dalamnya.

Pembentukan Karakter Berbasis Nilai

Sekalipun tampak aneh, tapi nyata, semakin dunia ini masuk dalam era global ternyata semakin pula ekspresi-ekspresi sosio politik lokal lah yang nyaring menggema. Hal ini menurut Yudi Latif memberi pengaruh besar bagi usaha tiap komunitas untuk membangun kesadaran identitas bersamanya dalam pigura kesadaran negara-bangsa.[iii] Dalam kaitannya dengan nilai-nilai utama komunitas tampaklah bahwa apa yang dia sebut sebagai epistemic community yang semakin hari semakin menggejala dan tak bisa lagi dikontrol oleh kerangka negara-bangsa itu perlu dipetakan dengan sangat berhati-hati. Sebagai sebuah contoh, yang seringkali tampak dalam gerakan mahasiswa saat ini adalah model berpikir mengarusutamakan ideologi tertentu. Analisis kelas berdasar pemikiran Karl Marx misalnya, rajin dipelajari dan dijadikan slogan bagi gerakan anti penindasan dan penghisapan terhadap manusia lainnya. Tentu ini sangat penting dan bermanfaat untuk mengembangkan model berpikir kritis. Namun jika dilihat lebih jauh mengapa pilihannya jatuh pada konsepsi ideologi sosialis ketika masuk dalam diskusi tentang bentuk negara, bisa jadi jawaban pragmatis untuk tujuan perjuangan pada hasillah yang menjadi dominan. Bahwa di dalam konsepsi ideologis itu tertanam nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan, hal itu tidaklah menjadi perhatian utama. Komunitas menentukan sendiri bagaimana caranya berpikir dan menggunakan pilihan cara berpikirnya itu untuk tujuan bersama yang dianggapnya lebih luhur.

Dalam salah satu tesisnya mengenai etika politik dan perubahan sosial, Peter L. Berger pernah dengan sangat jeli melihat bahwa kecenderungan seperti yang tampak dalam menguatnya kesadaran komunitas basis adalah karena pada dasarnya setiap orang memang menghendaki dan perlu dijamin haknya untuk hidup secara bermakna[iv]. Nilai-nilai utama komunitas adalah bentuk paling nyata dari usaha yang beragam untuk mendefinisikan realitas. Dan dengan adanya hak untuk mendefinisikan realitas itulah tiap komunitas menemukan nilai keutamaannya.

Jadi dengan melihat bahwa era sekarang adalah era di mana komunitaslah yang semakin tampak memiliki keleluasaan tidak hanya menentukan caranya berpikir melainkan juga menemukan makna bagi komunitasnya, maka membicarakan pembangunan karakter tidak lain adalah membicarakan pentingnya merevitalisasi nilai-nilai bersama dalam komunitas itu sekaligus mekanisme akuntabilitasnya dalam rasionalitas hidup bernegara[v]. Apakah dalam hal seperti ini negara masih diperlukan, setidaknya akan teruji pada kemampuannya menjaga agar nilai-nilai bersama dalam komunitas itu bertransformasi secara produktif bagi terbangunnya karakter bangsa. Hal inilah yang seringkali tampak dalam diskusi mengenai kehadiran (dan ketidakhadiran) negara dalam persoalan-persoalan bangsa yang sesungguhnya adalah perjumpaan nilai-nilai antar komunitas yang tak terkelola dengan baik.

Dalam kehidupan bernegara, nilai-nilai bersama dalam komunitas itu perlu diartikulasikan dalam idiom yang dengan mudah bisa dimengerti oleh seluruh warganegara. Sehingga selain makin memiliki nilai akuntabilitas, nilai-nilai bersama itu dapat diposisikan sebagai kerangka berpikir atau sebuah metode intelektualitas bagi keseluruhan warga negara untuk menamai dan memaknai realitasnya. Beberapa langkah yang bisa saya usulkan agar pembangunan karakter bangsa itu bisa menjadi pertimbangan bagi sistem bernegara yang tentu terus akan berusaha menemukan cara-cara terbaiknya di antaranya adalah:

  1. Melakukan assesment dan mapping secara kontinu terhadap nilai-nilai utama komunitas basis, bersama-sama dengan keseluruhan pihak dalam komunitas itu menentukan indikator-indikatornya dan sekaligus menamainya dengan artikulasi yang dapat dipahami oleh seluruh warga negara. Dengan cara inilah demokratisasi dapat menjadi proyek penyadaran dan juga pendidikan karakter yang mengena tidak hanya pada kesadaran terhadap sistem kekuasaan, namun sekaligus juga terhadap budaya yang sedang berkembang.
  2. Pendidikan karakter memerlukan pendekatan yang holistik dan integralistik meliputi keseluruhan bidang keilmuan yang ada, terutama dengan makin masifnya penggunaan teknologi cyber. Salah satu hal yang dapat menentukan pendidikan karakter itu terinternalisasi dalam diri seseorang adalah ketika terjadi apresiasi yang tulus terhadap keragaman nilai personal yang dimiliki seseorang. Dengan mengarusutamakan nilai-nilai, termasuk juga dengan membiasakan kesadaran adanya perjumpaan dengan nilai yang berbeda secara transparan dan dialogis dalam pembangunan karakter merupakan salah satu jalan masuk bagi kesadaran diri seseorang pada kesadaran seluas komunitas bangsa.
  3. Nilai-nilai komunitas selalu perlu untuk diuji berdasarkan indikator yang dibuat sendiri oleh komunitas itu sendiri. Dengan cara ini pendidikan karakter menawarkan metode akuntabilitas baik pikiran, perkataan, dan perbuatan sekaligus, membiasakan komunikasi dan relasi yang dialogis, sekaligus mempersempit ruang-ruang segregasi yang biasanya muncul dari sistem dominasi dan sentralisme.

Pembangunan karakter dalam sebuah frame kehidupan sebagai sebuah komunitas bangsa pada dasarnya memiliki fondasi kuat dalam nilai-nilai bersama komunitas. Jika tuntutan modernisme masih menghendaki agar ada sebuah lembaga yang memiliki otoritas agar sistem nilai kebangsaan itu terpelihara dalam dinamika yang berlangsung damai dan berkeadilan, maka tampaknya ide tentang negara setidaknya perlu dimulai dari dalam nilai-nilai yang berada dalam komunitas itu sendiri. Dan kini, sejarah membuktikan bahwa semakin terjadi sinkronisasi antara konsepsi negara dengan nilai-nilai komunitas, maka akan semakin memperlihatkan seberapa tegas sebuah karakter bangsa itu, dan sekaligus menguji seberapa kuat atau lemahnya sebuah negara.

Daftar Pustaka:

[i] Benedict Anderson, Nasionalisme Indonesia Kini dan Masa Depan, presentasi kuliah umum di Jakarta 4 Maret 1999.

[ii] Niels Mulder, Ruang Batin Masyarakat Indonesia, LkiS, Yogyakarta, 2001. Telah melihat gejala kegagalan negara dalam mengontrol sistem nilai dalam diri masyarakat Indonesia. Semakin negara menguat, maka polarisasi terhadap kesadaran pada nilai-nilai komunitas juga mampu menjadi gerakan penyeimbang yang bisa membahayakan atau memberi harapan.

[iii] Yudi Latif, Glokalisasi dan Kebangkitan Politik Identitas, dalam Widya P. Setyanto (ed.), Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara, Percik, Salatiga, 2009.

[iv] Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia, Etika Politik dan Perubahan Sosial, LP3ES, Yogyakarta, 2005.

[v] Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonialisme dan Otoritarianisme, LkiS, Yogyakarta, 2000. Dia mengusulkan sebuah alternatif bagi rasionalitas politis yang memposisikan peran penting negara yaitu rasionalitas politik yang memiliki bentuk moral, rasionalitas politik yang memiliki karakter epistemologis, dan rasionalitas politik yang diartikulasikan dalam idiom tertentu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here