Setiap manusia terus mengalami proses belajar, sebuah proses yang niscaya bagi tiap-tiap individu untuk menghindarinya. Sejak dilahirkan, seorang anak terus belajar terhadap segala hal yang dialaminya, baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Segala kejadian, peristiwa dan suasana yang ditemui dan dialami akan menjadi informasi yang masuk pada setiap orang yang nantinya dikelola dalam diri sesuai dengan ilmu, wawasan, tingkat pemahaman juga kesadaran masing-masing.

Seiring berjalannya waktu, manusia terus mencari cara, metode, formula, sistem atapun pengelolaan cara belajar yang dianggap paling efektif. Begitu juga dengan sistem pendidikan di negeri ini, terus mengalami perubahan dan perkembangan. Mungkin tiap berganti periode yang “memimpin”. Untuk itu, izinkan diri yang masih terus “belajar” ini berkata pada diri sendiri, “seperti apakah pendidikan yang pernah dialami akhir-akhir ini? Mencoba bertanya pada diri sendiri lalu memilah, mengenang, mengorek dan menilik beberapa perihal di bawah, sembari menyeruput secangkir teh atau kopi.

Istilah Favorit

Semasa sekolah dulu, kata favorit begitu akrab untuk “tingkatan daftar posisi” sebuah sekolah dalam “hierarki” pendidikan formal. Bahkan, sekarang pun anggapan itu masih berlaku di kalangan anak sekolah. Sering kita mendengar ucapan seperti “sekolah favorit, sekolah unggulan atau sekolah terbaik di kota ini.”

Dengan tetap berbaik sangka, semoga hal tersebut bukan meng-indikasi-kan sekolah favorit berarti lebih baik secara kualitas dibanding yang lain, atau menafikan kalau sekolah di luar dari citra favorit itu berkulitas. Fenomena cara pandang yang membanding–bandingkan sekolah satu dengan lainnya – alangkah baiknya ditata kembali, bagaimanapun tidak ada sekolah yang lebih unggul apalagi mengungguli.

Karena belajar-mengajar merupakan suatu “lelaku” yang bukan bersifat materi apalagi lembaga, tetapi merupakan ruang, dimensi, suasana, nilai, atau cakrawala yang bersifat ruhani. Tak seharusnya sekolah saling mengungguli apalagi mengajarkan saling mengungguli – berkompetisi atau bersaing pada peserta didik memperoleh “angka-angka” yang mana konotasinya menang-kalah.

Belajar pada ajaran leluhur bahwa, jangan ajarkan siswa-siswi untuk bersaing tetapi ajarkan saling bekerja sama, bergotong royong dan memahami karakter diri masing-masing. Toh! yang harusnya bersaing atau dikalahkan itu diri sendiri, “berperang melawan diri sendiri.”

Penjurusan

Di tingkat Sekolah Menengah Atas, ada saatnya setiap siswa diharuskan memilih bidang pen-jurusan – umumnya terbagi dalam tiga kategori yaitu, bidang IPA, IPS dan bidang Bahasa. Biasanya yang paling banyak diminati adalah bidang IPA, disusul bidang IPS, lalu bidang Bahasa yang paling sedikit peminat. Alasan yang terbangun bahwa, kalau mengambil bidang IPA lebih leluasa memilih “jurusan” saat kuliah nanti.

Sedangkan, bidang IPS dan Bahasa hanya dapat memilih sesuai bidang yang berkaitan – dengan kata lain, peluang memilih jurusan prodi di kampus tidak seluas bidang IPA. Ada pemikiran yang terbangun antara pelajar di sekolah bahwa, siswa-siswi jurusan bidang IPA adalah kumpulan anak-anak rajin, pintar, kutu buku, tertib dan sebagainya – siswa-siswi jurusan IPS lebih terkesan nakal, malas, suka ribut dan kurang disiplin, sedangkan jurusan Bahasa dianggap agak pendiam dan terkesan cuek – entah fakta atau mitos….

Pengelompokan

Setelah pembagian jurusan terbentuk masih ada kesan bahwa, terbangun semacam hierarki tingkatan dalam kelas, seperti siswa-siswi yang agak cerdas berada di kelas IPA-3, yang cerdas di-IPA-2 dan yang lebih cerdas di kelas IPA-1. Hal seperti ini seolah membentuk persaingan di antara siswa agar pada semester selanjutnya, dapat naik atau pindah dari kelas IPA-3 ke-IPA-2 atau ke-IPA-1.

Alangkah baik dan bijak bila atmosfer yang terbangun – tidak ada perbedaan antara kelas yang satu dengan lainnya – semua siswa memiliki karakter dan kelebihan masing-masing maka, mereka harus di-baur-kan, sehingga tak ada yang namanya kumpulan anak-anak pintar, kelompok anak-anak pejabat dan lainnya yang “mengandung dikotomi”.

Penyetaraan

Terkadang para siswa merasa bosan di kelas bukan karena mereka malas belajar, atau tak memiliki motivasi belajar. Tetapi tanpa disadari, mungkin atmosfer suasana dalam ruang kelas yang turut membentuk hal tersebut. Tanpa disadari, seorang guru terkadang menuntut agar semua siswa di kelas memahami perihal yang disampaikan – disadari  atau tidak, tanpa sengaja  murid yang satu ter-kadang dibandingkan dengan kawannya.

Padahal masing-masing personal memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri, seorang yang senang melukis tidak usah dituntut sama dengan yang mahir ber-musik – mahir berhitung jangan disamakan dengan yang cenderung senang menulis. Peran sekolah terlebih pada menemani, membantu dan mengarahkan para pelajar menemukan karakternya, bukan membentuk mereka menjadi karakter tertentu.

Memahami karakter seorang anak lebih utama, sehingga tak perlu mendorong mereka agar seperti teman lainnya. Asalkan “dasar-dasar” sudah dipahami, sisanya biarkan pelajar-pelajar tersebut, berkembang sesuai hobi dan kecenderungan bakatnya.

Buku Panduan

Buku tak terpisahkan dari dunia sekolah, di mana seorang guru memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan baik di sekolah atau di rumah. Jika dahulu pada era 1990-an, para murid lebih banyak mencatat dari apa yang dijelaskan seorang guru, karena terbatasnya buku-buku pelajaran. Maka, saat ini murid-murid tak terlalu banyak mencatat, sebab sudah ada buku pedoman dan LKS (Lembar Kerja Siswa) – sudah berisi soal-soal dan rangkuman penjelasan.

Apalagi saat ini ketika teknologi berkembang pesat, proses belajar di kelas banyak menggunakan media laptop dan proyektor juga E-book. Buku-buku lebih sering menjadi bahan diskusi kelompok sesama pelajar dan dengan berbagai komunitas. Harapan semoga dengan adanya diskusi-diskusi akan melahirkan ide-ide, gagasan dan keputusan kolektif yang mencerminkan sikap kebersamaan dan kekeluargaan, cerminan sikap suka bermusyawarah bangsa ini.

Sehingga, pelajar belajar melalui diskusi, rapat atau musyawarah dengan motivasi…, yang mendasarinya bukan karena kepentingan pribadi dan kelompok, melainkan untuk belajar dalam mencari solusi bersama secara tepat, akan suatu perihal secara lebih baik….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here