Belum lama ini, saat semua elemen masyarakat bangsa ini dihimbau untuk bersatu bersama-sama melawan Covid-19, ada satu topik di media social, tidak saja hangat dan menarik untuk diperbincangkan, tetapi juga melahirkan sikap pro dan kontra yaitu mengenai RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Masyarakat masih bertanya-tanya perihal pokok, maksud dan tujuan RUU HIP, sebab sidang pembahasannya ditunda. Mengapa?

Sebuah rumah haruslah memiliki pondasi yang menancap kuat dan dalam, agar kokoh menopang yang ada diatasnya. sebuah pohon tak akan mudah roboh dihantam badai, bila memiliki akar yang kuat-jauh menancap ke dalam tanah. Begitu pula bangunan bernama negara, pilar-pilar bangsa diperlukan untuk menjaga keutuhan sebuah negara.

Sembari menanti kabar, kapan RUU HIP dibahas, mari sejenak bercermin pada pilar-pilar yang telah digaungkan, Pancasila termasuk diantaranya. Pilar-pilar yang dikenal dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, meliputi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan mentadabburi kembali ke-4 pilar tersebut pada wilayah, ruang, suasana, dan keadaan saat ini. Apakah pilar-pilar kebangsaan itu sudah “terpantul ?. Mari menoleh sejenak !

  1. Pancasila

Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sudah tak diragukan lagi sarat hikmah dan nilai-nilai ajaran kehidupan. Ambil contoh sila ke-4…, yang salah satu ajarannya mengajak kita untuk bersikap bijaksana, berperilaku dengan “hikmah” serta bermusyawarah, terutama mengambil keputusan dalam kehidupan sosial kolektif.

Akan tetapi, yang tampak akhir-akhir ini, yang kita bangun kiranya masih jauh dari perilaku musyawarah (melahirkan kebijaksanaan). Yang terjadi malah lebih pada pengklaiman atas nama benar-salah, hak kepemilikan, penghujatan juga saling menuding, “banyak identik dengan kemenangan dan sedikit lebih dekat pada kekalahan”. Ini terjadi dalam hampir semua segi, baik politik, ekonomi, sosial-budaya maupun agama.

Kita lebih populer dengan  istilah voting, formula keputusan dengan idiom “setuju-tidak setuju, ya-tidak, mau-tidak mau, sepakat-tidak sepakat” dan cara-cara lain yang meng-indikasi-kan – mayoritas menang dan minoritas kalah. Jika indikasi yang dipakai masih “jumlah”, rasanya jauh dari makna bermusyawarah dalam mufakat. Bermusyawarah, semua pihak tidak merasa dirugikan, sebab menganut kebersamaan, kebijaksanaan dan keadilan. Akan tetapi, pada sistem vote sudah jelas, pihak yang lebih banyak jumlah anggotanya akan menang – kemenangan mudah dalam pengambilan keputusan kolektif.

  1. UUD 1945

Selain Pancasila, “UUD 1945” ibarat kitab sakral dan menjadi salah satu pijakan dalam tata-kelola kehidupan ber-negara di Republik ini – tertuang kalimat seperti pada alinea ke-1: “maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Apakah bangsa ini benar-benar telah bebas dari penjajahan? Siapakah penjajah, bangsa lain atau bangsa sendiri? Apa dan siapa yang dijajah? Bagaimana cara menjajah? Apakah terjajah secara fisik atau idealisme ?. Dan berbagai pertanyaan lain di kepala, bila menyaksikan kehidupan saat ini. Disadari atau tidak, kita masih “menjajah” sesama saudara di negeri ini, bahkan mungkin saja kita sendiri masih terjajah dalam lingkup pemikiran, falsafah, cita-cita dan cara pandang dalam melihat kehidupan.

” Mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea ke-4 ),” mari berhenti sejenak lalu “membaca kembali” kata-kata tersebut. “Bagi pribadi saya, alinea ke-4 bermakna ‘setiap pribadi, komunitas, lembaga atau perusahaan, supaya berperan dalam membangun pola, suasana, kondisi, iklim dan dimensi yang mengarah ke arah mencerdaskan kehidupan bangsa dimaksud. Hal sederhana misalnya, dengan berbagi kabar dan informasi yang benar, berkarya ber-inovatif-kreatif bersama. Terlebih dewasa ini, dalam perkembangan global teknologi yang begitu pesat.

Ya, informasi menyebar secepat kilat, sehingga perlu kejelian dan kejernihan dalam memilah. So, akankah sebuah komunitas bangsa bisa cerdas, bila asupan nutrisinya sampah-sampah informasi, hoax, ujaran kebencian dan sejenisnya?. Sudah tentu itu jauh dari unsur bergizi bagi pikiran yang jernih. Sudakah kita secara personal menjalin kasih-sayang, ber-silaturahmi, berbagi kabar, informasi dan sebagainya secara cerdas bermanfaat, bukan karena apa dan demi untuk siapa ?

  1. NKRI

Wilayah Negara Indonesia memanglah luas, seluas itu pula keberagamannya. Baik tradisi, tarian adat, bahasa, suku-suku bangsa, flora-fauna, sosial-budaya, bahkan sampai aneka ragam jenis olahan makanan yang tersebar di pelosok negeri ini. Belum lagi, melimpahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ditambah luas-mendalam cakrawala sikap hidup penduduk negeri ini – terutama bisa kita jumpai di penduduk-penduduk desa – tampak  bersahaja, guyub rukun, gotong royong dan romantisme rasa syukur akan kita rasakan. Ini merupakan penghargaan Tuhan YME bagi Ibu Pertiwi, tetapi juga dapat berupa tantangan bahkan peluang terciptanya ancaman…. Oleh karena itu, “bagai minum kopi”, rasanya kurang tepat menyebut “NKRI” sebelum rasa persatuan itu terjalin.

Leluhur bangsa ini kiranya tak akan menyatu sebelum bersatu dahulu. “Bila kita analogikan persatuan itu seragam dan segala perlengkapan sekolah, lalu negara itu ‘seorang bocah’. Maka kedua komponen tersebut harus bersih dan rapi, sehingga saat si Bocah berangkat ke sekolah  tampak serasi dan harmoni dalam satu tubuh.’’

“Selanjutnya, tinggal dipersiapkan pena dan buku-buku sebagai langkah-langkah kebijakan dalam pengelolaan bangsa.” Boleh dikata dengan “persatuan dulu lagi wujud kesatuan, beragam itu harus bersatu dahulu sebelum menuju kesatuan bernama Indonesia”. Dari Timur ke Barat – Utara hingga Selatan masing-masing membawa panji jati diri yang khas dan unik, bergandengan tangan bersatu membentuk untaian cincin Zamrud Khatulistiwa – Menanamkan rasa bersaudara sesama anak bangsa dengan menyebut “ inilah negeri kepulauan kita yang terhampar luas bersatu-menyatu menjadi negeri bernama Nusantara.

  1. Bhineka Tunggal Ika

Hampir semua rakyat Indonesia hafal dengan slogan tersebut, dan dimaknai “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Namun kadang kita lupa, bahwa yang berbeda tidak harus menjadi sama atau disamakan menjadi satu. Cobalah perhatikan di media sosial maupun keseharian lingkungan sekitar. Adakah yang “menjahui” yang lain karena “berbeda”.

Saling hujat-menyalahkan hanya karena perbedaan cara pandang – menyesatkan lainnya hanya karena berbeda pemahaman – kala pandemik Covid-19, kita menyaksikan berita beberapa penolakan atas jenazah ter-indikasi positif…. Entah karena ketakutan, segi komunikasi atas ke bawah yang masih ber-jarak atau informasi tentang korona yang beredar membuat….

Bhineka Tunggal Ika – rasa-rasanya tidak sekadar mengajak untuk bersatu dalam harmoni perbedaan, tetapi seolah-olah bernyanyi pada kita “bahwa semua yang ada di alam semesta raya ini, tampak berbeda tetapi berasal-muasal pada Yang Maha Tunggal,” terserah pada bagaimana penghayatan keyakinan kita akan Tuhan itu sendiri.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here