Desember selain bulan bagi umat Kristiani untuk merayakan natal, juga digadang-gadang sebagai bulan HIV/AIDS. Peringatan hari HIV/AIDS setiap tanggal 1 Desember selalu menjadi perhatian dunia. Penularan HIV sangat beragam sehingga tidak sedikit di banyak negara jumlah orang yang terdeteksi HIV/AIDS semakin meningkat. HIV dan AIDS memang berbeda, secara singkatnya HIV adalah virusnya sedangkan AIDS adalah penyakit yang timbul akibat virus HIV. Virus ini pertama kali ditemukan di Afrika pada simpanse, kemudian ditemukan virus serupa pada manusia kemudian virus tersebut diberi nama Human Immunodeficiency Virus atau sering disebut HIV.

Proses dari virus HIV menjadi penyakit AIDS tidaklah sebentar dan melalui beberapa tahap, selain itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Sepengetahuan penulis HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, tetapi langkah pencegahannya sangatlah banyak, salah satunya dengan Antiretrovirals(ARV).

Berbicara tentang HIV tidak adil rasanya jika tidak membasan tentang Acquired Immune Deficiency Syndrome(AIDS). AIDS dipandang sebagai salah satu penyakit paling menakutkan dewasa ini. Bukan hanya karena belum ditemukan obatnya, laju penyebarannya pun dalam skala yang sangat mencemaskan. Korbannya bukan lagi kaum homoseksual, tetapi telah merambat ke semua kalangan—tua-muda, kaya-miskin, perempuan-lelaki, homoseksual-heteroseksual. Karena itulah, AIDS telah menjadi concern kemanusiaan secara global. Ia tidak lagi menjadi masalah medis semata-mata, tetapi telah meluas menjadi masalah sosial, bahkan masalah agama. Apakah disini agama akan membela ODHA dengan teologi kasih sayangnya  ataukah malah menghukumi ODHA sebagai karma dari Tuhan?

Orang yang terkena penyakit AIDS sering disebut dengan ODHA( Orang Dengan HIV/AIDS). ODHA sangat rentan terkena diskriminasi dari orang disekitar karena penyakitnya. Selama ini stigma yang terbagun di masyarakat menganggap HIV/AIDS adalah karma yang diberikan oleh Tuhan atas perbuatan yang pernah dilakukan. Padahal bisa jadi orang yang terkena AIDS itu hasil keturunan orang tua. Orang-orang yang hidup dengan HIV AIDS(ODHA) itu telah mengalami derita fisik dan guncangan jiwa yang begitu rupa.

Belum lagi, mereka harus menanggung stigma sosial yang selalu mengucilkan dan merendahkan mereka sebagai sesama manusia. Ke mana mereka akan mengadu? Mungkin mereka akan pergi ke agama, tetapi jika agama hanya bisa menuduh mereka sebagai orang-orang yang tidak bermoral, berperilaku bejat, dan di kutuk Tuhan, apa lagi yang kira-kira bisa mereka harapkan? Pertanyaan praktis selanjutnya, apakah dengan stigma-stigma agama, permasalahan kemudian menjadi selesai, dan HIV/AIDS berhenti mengancam keberlangsungan hidup umat manusia, termasuk kita dan keluarga kita? Agama harus bisa terbuka dan tidak menutup diri untuk menerima ODHA sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan pesantren sebagai pendidikan non formal berbasis agama harus bisa menjadi solusi bagi ODHA untuk menuju jalan pertaubatan.

Dalam  kasus HIV & AIDS, kita tahu bahwa moralitas agama biasanya digunakan masyarakat sebagai basis stigmatisasi dan alat menghakimi terhadap ODHA. Tetapi di sisi lain, moralitas agama juga ternyata bisa dipakai sebagai landasan untuk memberikan dukungan dan kenyamanan bagi para penderita AIDS yang sedang sakit. Wajah agama sebagai rahmat sudah sepatutnya untuk memberikan kasih sayang kepada semua ciptaan Tuhan, dan tidak ada lagi diskriminasi atas nama agama.

Oleh karena itu, sebagaimana kita tidak bisa menghindari wacana moralitas dalam hubungan AIDS dan agama, kita pun tidak bisa menghindari sebuah dilema tentang manakah yang lebih bermoral antara mengimani HIV&AIDS sebagai hukuman Tuhan atas pelanggaran dosa, ataukah memberikan kasih sayang dukungan dan perhatian bagi para korban? Pertanyaan ini perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus HIV&AIDS, kontestasi dan pergulatan tentang makna moral pun terjadi. Moralitas agama tidak hanya memiliki satu wajah saja, bergantung pilihan kita mau mengambil sisi yang mana.

Teologi kasih sayang berangkat sama sekali bukan dengan semangat untuk membela pendosa, melainkan dengan semangat untuk membebaskan orang-orang yang memang tertindas dan terkucilkan di tengah masyarakat. Dalam konteks HIV, AIDS dan agama, satu-satunya cara adalah dengan mencoba memahami kompleksitas AIDS secara lebih luas dan komprehensif, serta untuk meminimalisir diskriminasi yang terjadi di masyarakat, sehingga agama bisa terbuka dan mampu menawarkan alternatif respon yang  lebih terbuka.

Bagaimanapun, agama sebagai sistem kepercayaan dan motor perubahan sudah sepatutnya dilibatkan atau melibatkan diri dalam upaya menciptakan iklim negara yang sehat  dan bangsa yang dewasa. Sehingga tidak ada lagi diskrimanasi dengan stigma agama di ranah horizontal(umat) kepada ODHA.

 

Referensi:

Madyan, Ahmad Shams. 2009. AIDS dalam Islam: Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan. Bandung: Mizan Pustaka

Penulis: Moh Yajid Fauzi

Penulis  adalah mahasiswa Universitas Islam Malang semester lima yang aktif di Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah sebagai ketua umum pada periode 2018/2019. Tergabung dalam Komunitas GUSDURian Malang dan Gubuk Tulis.

1 COMMENT

  1. Ingin meluruskan sedikit, bahwa sebenarnya AIDS bukanlah suatu penyakit tapi AIDS adalah kumpulan gejala yg disebabkan dari virus HIV. HIV/AIDS tidak selalu terjadi karena hubungan seksual, bisa juga dari cairan dan darah, penggunaan jarum suntik bergantian, dan ibu hamil kepada janinnya yang ditularkan melalui plasenta. Untuk itu pentingnya kita sebagai masyarakat tidak selalu memandang negatif pada ODHA.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here