Oleh: Wahyu Eka Setyawan

Permeristekdikti Nomor 55 Tahun 2018, semacam menjadi pembicaraan hangat pada pekan ini. Permen ini bak nubuah yang disambut sorak riang gembira oleh organisasi ekstra kampus (ormek), terutama kelompok Cipayung. Peraturan yang membolehkan ormek masuk ke kampus dan diakui menjadi organisasi intra kampus, menjadikan saya bertanya-tanya dalam lubuk hati terdalam. Kira-kira seperti apa yang akan terjadi, jika mereka dikumpulkan menjadi satu wadah dalam bingkai UKM Pembinaan Ideologi Bangsa.

Pasalnya, kita semua tahu bahwa di tahun 2002, melalui Keputusan Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 26. Aturan ini secara harfiah masih satu trajektori dengan NKK/BKK yang diterbitkan oleh Daoed Jusuf, sebagai respons atas kegilaan gerakan mahasiswa yang terus mengusik rezim Suharto. Normalisasi di area kampus, secara tidak langsung mengkebiri kebebasan berekspresi dan berdiskursus. Mereka dikekang, ditekan dan dipaksa patuh pada rezim, tentu dengan tujuan utama melanggengkan status quo saat itu.

Tanpa melihat substansi dari peraturan tersebut, seakan-akan mahasiswa menelan mentah-mentah adanya peraturan tersebut. Mereka tidak melihat relasi kuasa dan kepentingan apa di balik munculnya peraturan itu. Kita tahu bersama bahwa rezim memiliki segudang cara, guna melanggengkan status quo. Baik di awal menggunakan relasi kuasanya, dengan peraturan otoriteristik bernama NKK/BKK, lalu pasca reformasi dipertegas dalam Keputusan Dirjen Dikti Nomor 26 tahun 2002, belum lagi Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang semakin melegalkan kesemena-menaan kampus. Di mana efeknya, dari biaya merangkak naik, pemadatan kurikulum, serta penegasan jika rektor punya kuasa penuh atas kampus.

Membaca Upaya Pelemahan Gerakan Mahasiswa

Kampus menjadi salah satu tempat yang di era pra-kemerdekaan hingga awal kemerdekaan, terkenal dengan progresivitasnya. Mereka selalu menampar rezim dengan kritik-kritik pedasnya, menjadi tempat paling demokratis dengan wacana-wacana kontra kemapanan rezim. Munculnya organisasi mahasiswa semacam, CGMI, HMI, PMII, GMNI dan lainnya, tak lepas dari kampus yang masih bagus prinsipnya dan di sisi lain dipengaruhi oleh demokratisnya suatu rezim.

Pasca 65 semua berubah, Suharto dengan keras menggebuk gerakan mahasiswa, karena terlampau lantas dalam mengkritisi pemerintah. Tentu, hal tersebut akan mengusik kemapanan suatu rezim, menghambat dominasi kuasa serta menganggu investasi. Tak pelak, NKK/BKK dimunculkan pada tahun 1978 dan 1979, sebagai respons atas manuver-manuver gerakan mahasiswa saat itu.

Kita jika menelusuri sejenak, 1971 mahasiswa getol mengkampayekan golput, selanjutnya tahun 1974 mereka gencar menyuarakan anti modal asing, peristiwa naas malapetaka lima belas Januari (Malari) menjadi saksi keberanian mahasiswa dalam mengusik rezim. Peritiwa tersebutlah yang menjadi dalih penerbitan peraturan otoriteristik bernama NKK/BKK. (Novianto, 2016).

Praktis pasca itu gerakan mahasiswa semacam ompong, mereka direpresi oleh kampus, sebagai konsekuensi dari peristiwa di sepanjang tahun 1971-1974, yang cukup merepotkan rezim Suharto. Peraturan tersebut secara tidak langsung mendelegitimasi posisi tawar mahasiswa, yang awalnya setara rector menjadi di bawah rektor. Praktis mereka tidak bisa melakukan manuver yang progresif sebagaimana era sebelumnya. Karena berani mengusik kemapanan rezim Suharto, berarti mereka akan kehilangan status mahasiswanya.

Gerakan mahasiswa pasca itu tidak terlalu signifikan perannya, apalagi pasca penerapan secara sah asas tunggal pancasila, terutama melalui UU Nomor 3 tahun 1985 yang menggantikan UU Nomor 3 tahun 1975. Kondisi tersebut semakin merepresi gerakan mahasiswa, praktis tidak ada perlawanan yang signifikan sampai menjelang awal 90an.

Pada tahun 1990 awal munculah berbagai gerakan bawah tanah, pada rentang tahun 1992-1993, terbentuk beberapa organisasi pergerakan, yakni Yayasan Maju Bersama (YMB) & Forum Belajar Bebas (FBB) dengan aliran Marxis akademiknya. Lalu, pasca itu lahirlah Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada tahun 1993. Berselang satu tahun setelah lahirnya SMID, tepatnya pada 1994 Persatuan Rakyat Demokratik dibentuk, lalu bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada April 1996. Kehadiran PRD, SMID dengan berbagai organisasi sejenisnya, turut merangsang kemunculan perlawanan di kampus (Novianto, dkk, 2016).

Memasuki fase 1997-1998 beberapa organisasi muncul dan lahir. Kelompok Cipayung yang didirikan pada 1972 mulai muncul lagi, setelah sekian lama berdiam diri. Selain itu, lahir organisasi baru seperti, Forkot, Famred, Komrad, KAMMI dan organisasi lainnya. Puncaknya 1998 mereka berkonsolidasi dan menggulingkan rezim Suharto (Novianto, 2016).

Setelah Suharto tumbang, era reformasi muncul sebagai harapan baru. Tapi di tahun 2002 pada era pemerintahan Megawati, peraturan pelarangan ormek diterbitkan. Gerakan mahasiswa kembali mengalami kemunduran, rezim saat itu paham betul jika ormek dibiarkan, tentu akan mengusik mereka. Tujuan dari peraturan tersebut ialah menghentikan kaderisasi ormek, serta membatasi ranah geraknya. Namun itu semua tidak terlalu signifikan, rezim Megawati harus menghadapi protes mahasiswa. Dan ormek terus berkembang dan bertumbuh subur.

Mempertanyakan Keberadaan Permenristekdikti 55/2018

Apa relevansi penjabaran di atas dengan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018? Walaupun secara substansi mereka menerbitkan peraturan tersebut untuk menangkal radikalisme. Berkaitan dengan paham terorisme, ekstrimisme dan anti Pancasila, sebenarnya absurd karena makna radikal mengalami peyorasi. Padanan kata yang pas sebenarnya sektarian. Kita tahu bahwa paham-paham yang katanya anti Pancasila, tumbuh subur akibat pengekangan berpikir. Dan paham anti pancasila ini juga rancu, yang setiap saat justru akan merepresi kebebasan berpikir.

Di sisi lain muncul kekhawatiran, jika ini merupakan bentuk lain dari NKK/BKK. Sehingga nalar kritis mahasiswa di suatu organisasi yang terwadahi akan tumpul, karena terkooptasi olehagenda rezim. Daripada mengkritisi rezim, mereka akan disibukkan dengan absurditas radikalisme yang tidak jelas substansinya.

Justru dengan penerapan Pembinaan Ideologi Bangsa ini, sangatkontradiktif dengan prinsip demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945 dan diejawantahkan dalam Pancasila. Karena Pancasila secara domain adalah sebuah payung, yang menjamin kebebasan berpikir utuh. Jikalau ingin memberangus paham-paham sektarian (bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945) justru dengan kontra ideologi, bukan represi ideologi. Hemat saya, bukan dengan mewadahi dalam UKM, namun membebaskan mahasiswa berorganisasi dan beraktivitas di kampus tanpa syarat.

Ideologi itu berasal dari pikiran, ketika dilarang pun mereka akan tetap eksis. Melawan hal tersebut harus dengan kontestasi ideologi. Kehadiran peraturan tersebut akan menghambat gerakan mahasiswa. Paradigma kritis transformatif akan terhambat, karena dibelokkan menjadi kompromis. Alih-alih membendung paham sektarian, malahan di satu sisi semakin menegaskan upaya mengeksklusi nalar kritis mahasiswa, guna melangengkan status quo, tentu demi terpeliharanya oligarki.

Referensi

Novianto, A., Kurniawan, L., & Wibawa, S. (2018). Dinamika Gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis Partai Pelopor dan Partai Sosial-Demokrat. Jurnal Penelitian Politik15(1), 31-48.

Novianto, Arif. (2016). Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral – Buku Indonesia Bergerak II.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here