Memang benar apa yang digubah oleh sang sufi bahwa tanda perihal yang terbaik adalah apa yang menggetarkan hati. Seperti pada saat kita melihat apa yang sebelumnya belum pernah kita lihat seperti pemandangan yang indah pada suatu lembah, air terjun mengalir deras, tumbuhan hijau dan semilir angin segar. Maka yang dimaksud terbaik adalah kita bisa mengambil airnya untuk kehidupan sehari-hari seperti mencuci pakaian, kebutuhan memasak, dan mandi. Kayu dari pohon bisa dibuat rumah dan kayu bakar, serta buah-buahan yang dipetik untuk kebutuhan makanan selama hidup di tempat tersebut.

Begitu pula dengan cinta, kalau kita berkaca pada era 1990-an. Seorang wanita Maroko bernama Lalla Salma, putri seorang guru yang bekerja di perusahaan pengelolaan aset kerajaan arab bernama ONA Group. Salma bertemu dengan dambaan hatinya yaitu Raja Mohammed VI pada suatu pesta kala itu, dan mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan berani Salma memberi berbagai macam syarat seperti salah satunya dia tak mau dipoligami oleh wanita siapapun dan kasta manapun, dan sang Raja memenuhi persyaratannya dan berujung pada tahun 2002 mereka menikah.

Cerita berawal dari seorang gadis desa. Tika namanya, yang hidup sederhana dengan kedua orang tuanya dan satu saudara kandungnya, dengan berbekal ilmu umum dan ilmu agama yang cukup di madrasah yang ada di desanya sejak kecil hingga beranjak dewasa dan kawalan dari kedua orangtua yang sama-sama memiliki bekal ilmu agama yang cukup. Ayahnya adalah seorang petani yang bisa dibilang sukses dalam karirnya dan ibunya sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai kerja sampingan, membuka kedai jamu warisan ibu kandungnya di teras rumah. Akhirnya orang tuanya memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikan anaknya di pondok pesantren favorit di daerahnya, yang mana sebelumnya kedua orang tuanya juga pernah mondok di sana.

Kegiatan yang ada di pondok pesantren yang dia tekuni sangat berbanding terbalik dengan kegiatan yang ada di pesantren modern dengan mengikuti kurikulum pesantren dan arus perkembangan zaman modernisasi yang ada pada zaman ini, yang mana gedung tinggi menjulang, santri puluhan ribu, makanan sudah disediakan pihak pondok pesantren dan juga petugas untuk mencucikan baju kotor para santri. Kebutuhan mereka serba tercukupi. Selain diajar tentang ilmu keagamaan, di sana juga diajarkan berenang, menunggangi kuda, memang dan berbagai teknologi yang zaman ini lazim digunakan masyarakat seperti komputer contohnya.

Di pondok pesantren yang dia tempati sangat sederhana, makan tak tentu, hanya dua kali dalam sehari, tidur di gubuk dengan banyak hewan-hewan kecil, yang membuat para santri memiliki penyakit gatal atau lebih umum dinamakan gudiken. Santri hanya puluhan, Tapi muatan positifnya adalah kegiatan di sini lebih bersifat sederhana dan penuh kandungan filosofis yang bisa mengekang nafsu lahir dan batin dan sebagai bekal untuk keseharian mereka di rumah dan terjun ke daerahnya menghadapi masyarakat yang masih awam. Di antaranya, selain mengaji formal dengan kyai, makan mereka juga dibatasi hanya dua kali sehari dengan lauk yang amat sederhana dengan alasan agar ketika pada saat kondisi pendapatan mereka menurun bisa terbiasa dengan keadaan yang ada, yang paling penting di sana juga ada jadwal khusus untuk merawat aset kyai dan pondok pesantren seperti sawah, ternak, kebun dan lain-lain guna ketika pada saat terjun dimasyarakat memiliki keahlian lain selain mengajar masyarakat awam dan menjaga dan melatih sifat rendah hati para santri ke depannya.

Di pondoknya bukan seperti pondok pesantren dan sekolah pada umumnya yang mencampur para santri putra dan santri putri, walaupun pada saat mengaji secara formal kepada kyai dan juga tempat untuk menginap, di sana dibuatkan gubuk sendiri-sendiri antara santri putra dan santri putri. Jadi mulai pembukaan pendaftaran, para santri putra dan santri putri tidak saling berjumpa dalam satu wilayah, hanya bertemu ketika awal masuk pondok ketika selesai liburan. Entah liburan hari raya atau semacamnya juga ketika pembelajaran para guru juga demikian, yaitu dari guru putra dan guru putri dan hanya sebagian guru yang tidak demikian karena memegang mata pelajaran khusus yang butuh dengan penjelasan dan praktik lawan jenis.

Pada saat mondok, Tika sama halnya seperti santri yang lainnya yaitu masuk pembelajaran formal seperti mengaji, merawat kebun kyai dengan menyiram tanaman, memupuk tanaman baru juga memasak untuk makan kyai, dan cuci baju sendiri. Namun cerita dimulai pada saat dia mengaji bersama teman-temannya pada mata pelajaran khusus, pada saat itu kebetulan mata pelajaran ilmu falak (ilmu perbintangan) kebetulan kharisma sang guru sangat menggetarkan hati si Tika. Mulai dari gaya penampilannya, tutur katanya, metode penyampaiannya, dan sebagainya membuatnya merasa kagum sekaligus membuatnya penasaran ketika berjumpa dengan sang guru pertama kali.

Guru itu bernama Ahmad riwayat pendidikan sebelumnya yaitu setelah menimba ilmu di pondok pesantren yang notabene diakui secara nasional. Beliau mendapat dukungan dari pemerintah untuk melanjutkan perjalanan ilmunya ke luar negeri yaitu ke Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Ilmu Perbintangan. Namun sayangnya, mata pelajaran juga pertemuan Tika dengan sang guru sebulan hanya dua kali yang lebih membuatnya lebih penasaran untuk mencari tau siapa dan riwayat guru yang sebenarnya.

Seperti lazimnya Tika bertemu dengan sang guru, para santri putri juga demikian merasakan apa yang dirasakan oleh Tika, yaitu rasa kagum dan penasaran atau bisa dikatakan cinta dengan sang guru karena saking luar biasanya ilmu dan akhlak beliau. Namun tak lama kemudian para santri putri dan khususnya Tika sendiri merasa kecewa, dilanda harapan hampa. Ada salah satu santri putri yang mengetahui bahwa sebenarnya guru yang dikagumi mereka selama ini adalah anak dari pada kyai pengasuh pondok pesantren yang selama ini ditempatinya.

Mereka baru tahu karena sudah tahu sendiri bahwa sebelumnya selain gubuk santri putra dan putri berbeda dan hampir tak pernah saling tatap muka, ndalem kyai pun juga berbeda tempat dari keduanya. Ternyata apa yang dikatakan Maulana Jalaluddin Rumi yang tertera di awal sama sekali tidak memihak kepadanya. Tika pun hanya bisa pasrah dan berdo’a kepada Allah SWT untuk segera mungkin melunturkan rasa cintanya kepada sang guru yang tak mungkin terkabulkan. Karena lazimnya anak seorang kyai juga pasti akan dinikahkan dengan anak kyai lain agar selain menyambung silaturrahim juga menambah wawasan ilmu dan studi banding antara pondok pesantren yang satu dengan pondok pesantren yang bersangkutan. Sedangkan jika anak dari seorang yang biasa-biasa saja juga pasti akan dinikahkan dengan anak seorang biasa-biasa pula agar rasa kesederhanaan tetap utuh, tidak ada rasa mengeluh ketika miskin dan sombong ketika kaya.

Setelah dilanda sedih dan harapan yang tak mungkin terjadi, tenyata sang guru pun menaruh rasa juga kepada si Tika dengan wujud apresiasi dan cinta kasih, karena pada saat pembelajaran ilmu falak hanya Tika yang paling rajin, paling aktif, sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan benar dan juga sebagai asisten gurunya pada saat guru butuh bantuan dibandingkan dengan santri putri yang lain. Sekarang keduanya saling menaruh rasa, tapi tak tahu kenapa para santri putri yang selama ini dekat dengan tika yang sebelumnya dekat dan akrab mulai sedikit bahkan hampir tidak ada yang mau berteman dengannya lagi karena sudah otomatis mereka cemburu dengannya dan gurunya karena tujuan mereka adalah sama, berharap dinikahkan dengan sang guru. Di samping merasa gembira dengan keadaan yang sekarang tika mulai dekat dengan guru, dia juga sedih karena dia dijauhi oleh temannya. Tapi ini semakin membuat dekat hubungan antara Tika dan guru karena guru juga merasa keadaan tika demikian dengan timbul rasa simpati yang lebih kepadanya.

Awalnya berjalan seperti halnya biasa, cuma ada sedikit pandangan dan perhatian lebih diantara keduanya, tika menjalankan tugas seperti halnya seorang murid dan Ahmad juga menjalankan tugasnya seperti halnya seorang guru. Namun kabar ini bocor sampai ke telinga pihak ndalem setelah pembantu ndalem mengetahui tentang hubungan antara keduanya dikasih tau oleh para santri putri yang sebelumnya memang sudah tidak suka dengan adanya hubungan mereka karena mereka juga sebenarnya merasa ingin diperlakukan demikian bukan hanya Tika saja. Sang kyai sebelumnya hanya mengintrogasi putranya saja, ada apa kok sampai demikian, karena sebelumnya sang kyai pun juga menyiapkan jodoh yang cocok dan lebih baik, berpendidikan yang cukup antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, pun sama juga alumni dari Universitas Al-azhar Kairo Mesir tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun karena mendapatkan beasiswa dari negara, dan juga putra seorang kyai yang dulu pernah satu pondok dengan ayahnya dan hidup berkecukupan bukan dari kalangan pendapatan ekonomi menengah ke bawah. Namun Ahmad menolak tawaran ayahnya utuk dinikahkan dengan yang dimaksud karena menurutnya Tika mempunyai sifat sederhana dan kiranya mampu untuk menerima apa adanya ketika kondisi pendapatan sangat minim, bukan dengan sifat calon yang dimaksudkan ayahnya karena kebutuhan dia tercukupi dan khawatir belum siap menerima keadaan segenting itu.

Akhirnya sang kyai agak marah dengan tidak lagi memberi jam pelajaran kepada anaknya Ahmad untuk memberi pelajaran kepada santri putri guna menyempitkan ruang anaknya untuk bertemu dengan dambaan yang selama ini dikaguminya, tika pun juga merasa heran sekaligus khawatir dengan keadaan yang terjadi sekarang ini karena dengan keadaan seperti ini membuka peluang dirinya untuk dikeluarkan dari pondok pesantren karena hal tadi walaupun indeks prestasinya relatif tinggi.

Akhirnya keduanya tak saling bertemu, Ahmad pun kini hanya mengajar para santri putra saja dan Tika pun diajar oleh guru laki-laki yang bukan dambaan hatinya, hanya berjumpa walaupun tak lama ketika awal masuk mondok selepas liburan. Keduanya hanya berdo’a dari Ahmad semoga Allah SWT meluluhkan hati ayahnya untuk meridhoi hubungannya sampai ke jenjang yang mulia yaitu pernikahan, dari Tika semoga Allah SWT mengabulkan apa yang selama ini dimohonkan untuk dinikahi oleh gurunya. Jikalau tidak kesampaian, semoga mendapatkan takdir yang baik bagi keduanya karena Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Menguasai Takdir.

Sekian harinya, sang kyai selain mengajar ngaji di pondok pesantren asuhannya, beliau juga mengaji diluar pondok pesantren pada hari tertentu dan luar pelajaran. Yaitu rutinan mengisi ngaji pada masjid dan musholla tertentu pada waktu senggang antara sholat maghrib dan sholat isya’ dan di waktu setelah sholat shubuh, serta mengisi acara mauidhoh hasanah untuk hajat masyarakat seperti pernikahan, khitanan, bahkan memperingati hari kematian atau akrab disebut haul oleh masyarakat pada umumnya.

Pada saat kyai mengisi acara mauidhoh hasanah di suatu desa, ditengah saat beliau memberi tausyiah tiba-tiba suara kyai tidak seperti biasanya yang sebelumnya lantang dalam menyampaikan ceramahnya kini agak lemas dan akhirnya jatuh pingsan di panggung podium, terpaksa acara dihentikan karena kondisi demikian. Beliau di bawah ke rumah yang punya hajat untuk diberlakukan istirahat sejenak dan acara langsung ditutup dengan membagi makanan kepada tamu undangan. Namun anehnya dan lebih menggetarkan lagi sang kyai belum juga tersadar dari pingsannya. Akhirnya masyarakat sepakat untuk melarikan beliau ke rumah sakit, setelah dirawat dan menunggu hasil lab ternyata beliau terkena gejala darah rendah dan asam lambung yang cukup kritis dan mendapatkan perhatian lebih dari tenaga medis.

Dari pihak pondok pun mulai mendengar kabar bahwa pengasuhnya dan guru besarnya dirawat dirumah sakit, akhirnya setiap setelah sholat tiap santri diwajibkan untuk memanjatkan do’a untuk kesembuhan kyainya. Ahmad pun sebagai anak satu-satunya yang bingung terhadap kondisi yang melanda ayahnya sekarang ini, bahkan terlintas dalam pikirannya untuk menuruti segala apa yang sebelumnya dia bantah sebagian perintah dari orang tuanya untuk berjaga apabila ketika ayahnya meninggal sudah mendapat ridhonya dan jaminan berkeluarga yang sakinah mawadah warohmah ke depannya.

Bahkan setelah akhir sanah tiba, santri pada saat itu libur, Tika menceritakan kepada orang tuanya terkait penyakit yang diderita sang kyai. Setelah itu sontak orang tuanya berangkat kerumah sakit untuk menjenguk kyai dengan bekal ramuan jamu untuk penyakit lambung sang kyai buatan ibu tika yang mana dulu nenek tika adalah penjual jamu yang mujarab dikalangan masyarakat pada saat itu dan ibunya sedikit tahu tentang resep ramuannya. Dengan melihat kondisi kyai yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, ayahnya langsung memberikan jamu buatan istrinya dengan meminumkannya secara perlahan dan menghubungi dokter untuk segera mengambil darahnya untuk didonorkan kepada kyai sebagai wujud khidmat kepada guru ngajinya waktu muda dulu yang mana mungkin cocok untuk menambah kekurangan darah kyai. Ternyata hasil lab menunjukkan adanya kecocokan antara darah ayah Tika dengan darah kyai.

Setelah berbagai upaya yang dilakukan kedua orang tua Tika untuk kesembuhan kyai telah dikabulkan oleh ilahi robbi, darah beliau stabil dan penyakit lambungnya semakin hari semakin membaik. Ketika kyai tersadar dari pingsannya beliau melihat Tika dan kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, langsung ayah Tika merangkul ayahnya sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT telah menyembuhkan penyakit gurunya itu, beliau terkaget ternyata santri putri yang selama ini membuat gila anaknya adalah anak dari santrinya dulu ketika masih mondok di pesantrennya.

Kemudian kyai langsung menelpon pondok untuk mengutus anaknya Ahmad untuk segera datang ke rumah sakit, Ahmad mendengar suara ayahnya yang sebelumnya tak sadarkan diri menjadi sehat-sehat seperti sedia kala dan suaranya pun kembali lantang langsung terharu dan segera berangkat secepat mungkin ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Sesampainya di sana, Ahmad langsung digandeng tangannya sebelah kanan dan Tika digandeng tangannya sebelah kiri sebagai tanda restu hubungan antara keduanya untuk naik ke jenjang pernikahan dan akan membatalkan rencana pernikahan ahmad kepada gadis cerdas anak temannya sendiri yang juga kyai dan memiliki pondok pesantren.

Ahmad dan tika pun menangis haru melihat kode dari sang kyai, begitu pula orangtua tika yang menangis karena ini adalah jawaban dari doa sebelumnya yang mana keduanya bermunajat utuk mendapatkan keturunan yang sholih-sholihah lantaran menantu yang sholih pula. Akhirnya sang kyai dipulangkan dari rumah sakit dan bersiap untuk menata acara akad nikah dan resepsi kedua mempelai semeriah mungkin. Tibalah hari saatnya mereka disandingkan di hadapan penghulu dan puluhan santri dengan kalimat “Qabiltu Nikahaha Wa Tazwijaha Bil Mahril Madzkur”, seluruh pendengar bersyukur dan bersuka cita atas sahnya pernikahan kedua mempelai.

Ternyata inilah yang seperti dikatakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi diatas bahwa yang membuat hati tergetar, itulah yang terbaik baginya. Mereka berdua bertemu dan saling menaruh rasa, walaupun sesulit apapun rintangan yang dihadapi keduannya tetap dikembalikan kepada sang pencipta karena dialah yang membolak balikan hati manusia dan sebaik-baiknya perancang sebuah rencana juga pemilik segalanya.

Seperti yang dikatakan Maulana Jalaluddin Rumi pada syair yang lain yang artinya: “Selamat tinggal hanya untuk mereka yang suka dengan mata mereka. Karena bagi mereka yang suka dengan hati dan jiwa tidak ada hal seperti pemisah”. Maksudnya adalah ketika cinta yang bertamu didasari hati dan jiwa maka harapan untuk dipertemukan semakin kuat, sama halnya sang sufi mencetuskan secara tidak sadar (jadzab) tariannya dengan gaya berputar melawan arah jarum jam menunjukkan untuk harapan kembali kepada sang pencipta yaitu Allah SWT. kalau dengan Tuhan kita bisa dijanjikan untuk bertemu kenapa dengan penciptanya tidak? Semua tergantung oleh niat dan ketulusan individu dalam mengahadapi segala hal. Wassalaam….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here