Ong dalam bukunya Kelisanan dan Keaksaraan (2012) serta Saryono dalam bukunya Literasi (2019) menggambarkan lanskap kesustraan menjadi empat kuadran. Empat kuadran lanskap itu terdiri dari kelisanan primer, tulis, tulis- cetak dan kelisanan sekunder. Lanskap itulah sebagai wujud evolusi budaya literasi.

Dulu orang disebut literat atau berpengetahuan selama orang itu bisa menuturkan sebuah cerita atau fenomena di masyarakat. Budaya oral untuk mentransformasi ilmu pengetahuan menjadi kebiasaan masyarakat. Hingga pada suatu ketika orang mempersoalkan beda manusia dan hewan.

Pada umumnya orang menganggap perbedaan manusia dan hewan adalah pada akal pikiran, tidak dengan Ong. Dalam hal ini, Ong memiliki pandangan yang berbeda, dan bisa dianalogikan dengan pandangan Nietzsche – bahwa perbedaan manusia dan hewan adalah pada ingatannya. Manusia mampu mengenang, sedangkan hewan tak mengenal kata mantan.

Oleh karena itu, peradapan tulis hadir untuk menyemai kata-kata menjadi ingatan yang utuh. Kata-kata sebagai jejak yang terlihat oleh mata. Di situlah peradaban ditunjukkan dari sebuah karya tulis. Akan tetapi, Ong berpandangan lain dalam hal ini, ingatan juga bisa direkam melalui suara, via telinga – yang disebut kelisanan primer.

Namun, budaya lisan primer ini sudah hampir tidak ada di masyarakat, semua telah berbondong-bondong mengenang atau memikirkan kata melalui tulisan. Bukan berarti pemikiran Ong ini usang. Dari situlah, kebudayaan lisan telah menorehkan sejarahnya dan mengantarkan kita kepada budaya tulis – digital.

Hal itu perlu disambut baik oleh semua khalayah. Kelisanan atau literasi telah bermetamorfosa menjadi sebuah kupu-kupu indah yang patut dirayakan. Literasi yang berterbangan indah dalam rangkaian kata para pujangga – memadati lalu lintas digital.
Dari perkembangan literasi yang ada, berbagai ide untuk mengeksplorasi setiap kajian literatur terjadi. Muncullah paduan kata ‗literasi‘ itu sendiri—literasi politik, sosial, keislaman, hingga perempuan. Ada harapan besar yang disematkan dalam tubuh literasi. Di mana selain sebagai media nostalgia, literasi juga diharapkan mampu mengkritisi fenomena yang ada.

Beberapa topik yang kian hangat akhir ini adalah sebuah kapitalisme digital yang telah merenggus kebudayaan dan kemanusiaan. Dalam buku Jagat Digital, Agus Sudibyo (2019), oligopoli digital membangun atmosfer teknologi informasi yang tidak terkontrol dan menguatkan ekonomi sepihak. Dampak dari itulah, muncul berbagai persoalan, di antaranya pendistorsian nilai agama dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kedua kasus itu berwajah hoaks, kebencian dan ketidakadilan gender visual.

Oleh karena itu, dari laju kebudayaan literasi inilah patut menjadi refleksi bersama, agar literasi menjadi sebuah kebudayaan dan peradaban yang menjunjung nilai-nilai agama dan memuliakan manusia – perempuan. Sehingga, mesin digital yang dijalankan oleh korporat tidak merenggus rasa kemanusiaan kita.

Dari uraian panjang itu, Gubuk Tulis sebagai komunitas literasi bermaksud akan menyelenggarakan Sekolah Literasi 3 dengan tema, ―Oase Literasi untuk Kemajuan Kebudayaan Bangsa. Sekolah literasi yang akan memberikan oase di tengah kegersangan kata-kata yang mulai ciut nyali dan mengidap pseudo kebenaran.

Peserta diikuti dari berbagai daerah, beberapa yang telah terdaftar ada dari Malang, Surabaya, Ponorogo, Pasuruan, Gresik, Probolinggo, hingga Bandung. Di mana peserta yang ikut bergabung diwajibkan membuat esai bertopik tema Sekolah Literasi 3, yang berikutnya esai akan dihimpun menjadi sebuah buku. Peserta akan belajar bersama panitia dan narasumber dengan penuh kebahagiaan.

Sekolah literasi ini akan diselenggarakan pada tanggal 15- 17 November 2019, di Malang Creative Fusion. Nantinya materi-materi kepenulisan ini akan disampaikan oleh pemateri-pemateri yang sudah ahli dalam bidangnya. Untuk hari Jumat (15/11/2019) akan diisi oleh Aquarina Kharisma Sari penggerak Komunitas Malang Womans Writers (MAWWS) dengan materi Kepenulisan Esai Topik Perempuan.

Pada Sabtu (16/11/2019) ada tiga materi yang akan menemani peserta Sekolah Literasi 3, yakni Dr. Mohamad Anas, M.Phil, dosen Universitas Brawijaya dengan materi Kepenulisan Ilmiah: Jurnal Topik Perempuan. Kemudian Prof. Djoko Saryono selaku Guru Besar  Sastra di Universitas Negeri Malang, ia akan mengisi Orasi Perempuan dan Kebudayaan. Dan akan dilanjut dengan materi dari Edi AH Iyubenu yang akan megisi Sarasehan Kampung Fiksi dan Komunitas Literasi sekaligus Bedah Buku Muhammadku Sayangku.

Sedangkan untuk hari Minggu, akan ada materi dari  Misbahus Surur, dosen dari Fakultas Humaniora UIN Malang dengan materi Kepenulisan Resensi. Demikian gambaran acara Sekolah Literasi 3 yang akan diselenggarakan. Semoga bisa memandu kita semua menuju jalan keabadian.

Akhir kata, ada kutipan segar dari Virginia Wolf, “Kata-kata seperti halnya kita, untuk dapat hidup dalam ketenangannya, membutuhkan wilayah pribadi mereka. Kata-kata, menginginkan kita untuk perpikir, dan mereka menginginkan kita untuk merasa; sebelum kita menggunakannya; tetapi mereka juga menginginkan kita untuk berhenti sejenak; untuk menjadi tak sadar. Ketidaksadaran kita adalah wilayah pribadi mereka; kegelapan kita adalah cahaya bagi mereka….”- dikutip dari buku Memikirkan Kata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here