Capek kuliah? Nikah aja

Capek kerja? Nikah gih biar ada yang ngurusin

Begitu kira-kira meme yang lagi viral di media sosial, yang ingin menjelaskan jika nikah adalah solusi dari segala masalah kehidupan ini. Namun ada yang unik dari kampanye meme di media sosial itu, yakni subyek yang dimkasud dari  “capek kuliah? Nikah, capek kerja? Nikah” adalah perempuan, dengan penguatan gambar-gambar perempuan yang lelah bekerja dan lelah belajar, lalu disandingkan dengan gambaran perempuan telah menikah. Jadi jika perempuan merasa capek kerja solusinya ya nikah, kalau perempuan capek dengan tugas-tugas kuliah ya nikah.

Apasih sebenarnya yang diharapkan ketika sudah menikah? Kalau menikah udah gak perlu capek-capek kerja lagi gitu, karena udah ada yang nafkahin. Kalau udah nikah gak perlu lagi atuh berkutat dengan tugas-tugas kuliah seabrek, kalau nikah enak selalu bareng sama orang yang kita sayang setiap saat, dimanja setiap saat…

Harapan-harapan indah setelah menikah itu muncul dan berharap menjadi solusi atas segala masalah kehidupan, kemudian yang terjadi adalah sang perempuan meminta pacarnya untuk menikahi dengan segera, dengan harapan hidup enak setelah menikah, sedangkan sang laki-laki belum siap untuk menikah baik dari segi lahir maupun batin. Jika perempuan belum mempunyai calon pasangan maka dia bertekad pada siapapun yang melamarnya akan dia terima, lalu muncullah masalah baru..

Kenapa banyak perempuan yang termakan meme-meme itu? Sedangkan laki-laki tidak?

Karena budaya kita menganggap jika menikah, maka yang menanggung semua beban materi adalah laki-laki, sedangkan perempuan berhak diberikan materi dan bertugas di rumah saja. Laki-laki jelas berfikir ulang jika mau segera menikah, dia harus menyiapkan mental, materi dan sebagainya, sebaliknya terhadap perempuan yang berfikir akan hidup enak setelah menikah, tanpa kerja keras dan susah payah akan mendapatkan uang dari hasil kerja suami.

Nyatanya pernikahan yang dilaksanakan tanpa kesiapan lahir dan batin selalu menimbulkan masalah-masalah baru, kebahagiaan yang dirasakan hanya berlangsung beberapa bulan saja, setelah itu kehidupan nyata harus dihadapi,  berfikir tentang kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika sang istri hamil, maka harus ada biaya ekstra yang disisihkan. Lahirnya sang anakpun menuntut kedua pasangan untuk berbagi tugas agar tidak terjadi percekcokan, masalah sepeleh akan jadi rumit ketika masing-masing masih mementingkan ego dirinya, perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga pun tidak bisa dihindarkan.

Memilih pasangan yang tidak adil sejak dalam pikiran tentu akan menyulitkan, Koordinator Bidang Pemantauan Komisi Nasional Perempuan, Dewi Ayu Kartika pernah menjelaskan jika dalam rumah tangga perempuan hanya dianggap berkewajiban di rumah, menjaga anak, mengurus keluarga, hingga terbentuknya relasi kuasa maka hal ini sangat berpengaruh besar terhadap kasus KDRT. Sedangkan dampak dari kasus KDRT bisa meluas, bukan hanya pada istri tapi juga pada anak-anak dalam keluarga tersebut.

Menikah tentu sunnah, bahkan dianjurkan jika individu tersebut sudah berhukum wajib nikah. Namun, nikah tanpa persiapan apalagi hanya karena lelah hidup sendiri, lelah dengan tugas kuliah, lelah bekerja, bukanlah hal yang baik karena berlandas emosi sesaat. Jika lelah dengan tugas kuliah maka istirahatlah, hangout sama teman teman melepas penat, lelah bekerja ya bisa jalan-jalan ke pantai, shopping, dan habiskan waktu dengan hobimu. Nikah bukan menjadi solusi atas segala masalah jika lahir dan batin belum siap, nikah itu perjalanan hidup yang baru dengan menghabiskan waktu bersama seseorang, selalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Jangan buru-buru nikah kalau belum siap sist and bro.. karena nikah itu butuh kerjasama yang baik, maka untuk membuat kerjasama itu kompak dan berhasil butuh partner yang tangguh.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here