Teori Kekerasan Seksual dan Kekerasan Berbasis Gender (2)

0
184
picture by google

Kekerasan seksual, dalam teori feminisme yang populer dan dominan, terjadi dalam relasi kekuasaan yang tidak setara. Secara teoritis, pelaku selalu berada pada posisi kekuasaan. Kekerasan seksual dalam konteks feminisme pada awalnya menekankan relasi gender sebagai basis analisa relasi kekuasaan. Setelah mengenalkan teori tradisional sebagai konsekuensi analisa patriarki bahwa perempuan selalu berada pada posisi korban Ketika terjadi kekerasan seksual, feminisme mulai mengenalkan perspektif yang menekankan keragaman dan relasi kekuasaan lainnya, terutama kelas. Bagaimana menerapkan teori ini pada kasus kekerasan seksual dalam skandal pembunuhan yang melibatkan jenderal polisi? Pelaku jelas laki-laki dan korban adalah perempuan. Merujuk analisa patriarkisme yang memberi power dan privilege kekuasaan pada laki-laki dalam relasi gender apapun, kita mudah memahami bagaimana kekerasan ini bisa terjadi, dilakukan terduga pelaku yang laki-laki terhadap korban yang perempuan. Tapi, kasus ini mengandung dimensi relasi kekuasaan lain, yaitu relasi kekuasaan berdasarkan kelas. Korban adalah isteri atasan yang sangat atasan dalam institusi kepolisian dari terduga pelaku yang dalam budaya birokrasi di Indonesia isteri atasan adalah juga atasan.

Melihat relasi kekuasaan berdasarkan kelas kita mudah memahami jika terduga pelaku bukan berada pada posisi kekuasaan, bahkan bisa jadi tidak memiliki kekuasaan sama sekali, alias nol. Sebaliknya, korban adalah pemilik kekuasaan bahkan otoritas yang berlipat dibanding pelaku. Inilah yang menjadi pertanyaan, yang juga menuntut pemikiran ulang teori kekerasan seksual. Bisakah dalam relasi kekuasaan ini terjadi kekerasan seksual oleh terduga pelaku, seorang laki-laki, bawahan, terhadap korban, seorang perempuan atasannya? Secara teoritis, melihat relasi gender, kekerasan seksual bukan hanya mungkin tapi sangat mungkin terjadi; namun, melihat relasi kelas, kita meragukan atau bahkan 100% menolak narasi kekerasan seksual ini.

Teori seharusnya didasarkan pada realitas persoalan yang riil. Itulah mengapa teori-teori feminisme selalu mengalami perkembangan, baik perubahan atau penguatan. Berbeda dengan teori sosial lian, feminisme menuntut dialektika teori dan persoalan riil opresi, kekerasan, dan diskriminasi yang terus menerus. Teori feminisme dihasilkan dari sebuah analisa persoalan yang lalu harus dikembalikan untuk menjadi alat mengatasi persoalan tersebut. Teori tradisional kekerasan dan diskriminasi gender yang dikotomis telah mengalami revisi dengan teori interseksionalitas atas dasar pemahaman atas persoalan riil dalam realitas sosial yang menunjukkan tidak ada faktor tunggal di balik tindakan kekerasan dan diskriminasi, baik dilakukan individu maupun kolektif –seperti perkosaan massal 1965 dan 1998.

Teori, sekali lagi, harus dipraktekkan dalam realitas yang riil, dalam hal ini, langsung dioperasionalisasikan untuk menangani kekerasan seksual yang menjadi salah satu subyek sentral dalam skandal tersebut. Bagaimana mengaplikasikan dan mengoperasionalkannya? Kembali pada teori pertama sebagai fondasi fundamental, perspektif korban, kita perlu menyediakan ruang yang aman, nyaman, yang bisa memastikan korban menyampaikan suaranya. Lembaga negara yang memiliki otoritas dalam isu-isu kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual, seperti Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perlu, sekali lagi, “menarik” korban dari pusaran skandal agar bisa mendapatkan layanan konseling sebagai haknya. Dan konseling, sekali lagi, juga akan menjadi media mengungkap kasus sesuai dengan suara korban, sesuai pengalaman korban.

Kita punya banyak ahli dalam layanan pendampingan dan konseling yang tidak hanya akan membantu korban mengatasi trauma tapi juga membuat narasi kasus sesuai dengan perspektif dan suara korban. Konseling akan membuat kita paham, kekerasan seksual yang sesungguhnya dalam skandal ini. Kita perlu mendengar narasi kekerasan seksual versi korban, bukan versi yang lain, apalagi pembuat skandal.

Konseling yang juga menjadi media mengetahui persoalan dari perspektif korban akan semakin membuat kita tahu posisi korban dalam skandal ini. Hanya dengan analisa gender, kita akan bisa mengungkap kekerasan lain –di luar kekerasan seksual—yang sangat mungkin dialami korban, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dengan segala bentuknya. Kekerasan institusional yang melibatkan institusi kepolisian juga sangat mungkin dialami korban, termasuk karena gender dan peran gendernya sebagai seorang isteri jenderal polisi. Kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan kekerasan-kekerasan yang masih “tersembunyi” ini.

Sebagai penutup, tulisan ini juga menjadi bagian dari keresahan atau concernya saya melihat bagaimana Komnas Perempuan turut menjadi target olok-olok, cemooh, dan bullying karena dianggap tidak menunjukkan sikap yang kompeten dalam merespon kasus kekerasan yang menjadi bagian dari skandal atau megaskandal ini. Semoga pikiran di atas, jika belum dilakukan, bisa menjadi usulan untuk dilakukan Komnas Perempuan, atau Kementerian PP dan PA. Kita perlu menjadikan kasus ini sebagai upaya pendidikan publik bagaimana menyikapi kekerasan seksual dengan mengutamakan empati pada mereka yang menjadi korban, minimal tidak menjadikan narasi kekerasan seksual, dalam kasus apapun, sebagai bahan cemoohan atau guyon.

Kita ingin punya masyarakat yang bisa menahan diri atau punya rasa sungkan yang kuat untuk menjadikan kekerasan seksual –bahkan ketika ini menjadi cerita fiksi—sebagai bahan guyonan publik. Jika attitude dan cara pandang ini masih belum bisa berubah , segala UU, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan beberapa bulan lalu, hanya akan menjadi instrumen hukum sia-sia belaka –terutama terkait imajinasi dan mimpi hadirnya masyarakat yang zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.

Penulis: Farid Muttaqin (Pendiri Letsstalks, Doktor Antropologi dari Binghamton University)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here