Lestari bercerita. Dia selalu jatuh cinta kepada kekasihnya, menikmati waktu dua jam
dalam sehari hanya untuk merindukannya. Aku heran ketika mendengar semua itu dari seorang perempuan yang sudah memiliki segalanya, kemapanan dalam hidupnya. Aku selalu mengatakan pada sahabatku itu, untuk segera memesan tiket dan mendatangi kekasihnya. Tapi dia selalu menolak saranku, dengan alasan yang gila menurutku.

Katanya “Rindu tak bisa ditukar dengan tiket” semakit rumit jika aku memikirkan orang
yang sedang jatuh cinta, apa-apa tak bisa dipandang sebelah mata. Lestari memanggiku “Mey” kita adalah teman yang tinggal bersama, dia membeli rumah yang cukup besar untuk ditinggali sendiri.

Aku sudah lima tahun menjadi seorang pembantu di rumahnya, dia memperlakukanku sebagai seorang sahabat.
“Mey, aku ingin pergi ke Bandung. Ayo ikut”
“Pergilah sendiri biar kamu lebih leluasa bersama kekasihmu”
“Aku takut”
“Takut apa?”
“Takut, tak bisa kembali bersamamu. Ha ha ha”

Aku bisa melihat kerinduan yang dia simpan dan dirawatnya dengan baik. Dia selalu
mengatakan hal yang sama, ingin memeluknya, ingin melihat matanya, ingin makan berdua
dengan kekasihnya, ingin jalan-jalan menik mati kota. Tapi dia tak melakukan usaha papun
untuk itu. Harusnya dia mewujudkan segala keinginanya. Dia selalu mencari kesibuka untuk
melampiaskan semua tentang kerinduannya.

Aku memperhatikan dia yang sibuk kerja dari pagi sampai menjelang malam, tapi dia
sungguh berbeda dari majikan-majikan yang lain, setiap hari dia selalu menanyakan lewat telfon rumah, aku sedang apa. Sedang masak apa. Dan tak pernah lupa mengingatkanku untuk makan.

Ya, aku memang tak pernah keluar rumah tanpa majikanku, kebutuhan sehari-sehari dia selalu membelinya sendiri di Hypermart waktu pulang kerja. Tugasku hanya memasak, merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, setrika, membersihkan rumah, dan mendengarkan cerita dengan sepasang keluh kesahnya.

Semenjak kedua orang tuaku meninggal, aku tak pernah pulang kampung. Rasa bersalah
karena tak pernah merawatnya membuatku tak layak untuk menziarahi kuburannya, aku merasa bukan anak yang diharapkannya. Sampai sekarang aku belum menikah, seperti permintaan terakhir seminggu sebelum ibu meninggal. Bagi kerabatku, aku seperti ditelan bumi.

Aku tak pernah memanggil majikanku dengan sebutan nyonya atau apalah, dia memintaku memangil namanya saja, awalnya sangat canggung tapi lama-lama menjadi terbiasa
dan Larasati memudahkanku beradaptasi dengan dirinya yang sangat jauh berbeda. Dia wanita yang pintar dan ceria, sedangkan aku wanita pendiam dan murung.
“Mey, aku pulang cepat hari ini”

Aku menerima kabar darinya dan menunggunya dengan segelas jus wortel yang di mix
dengan buah apel. Aku mendengar suara mobil berhenti di depan pagar, segera kubukakan pintu dan menyambutnya. Larasati selalu tampak cantik walau pun dengan wajahnya yang kusut, aku tak pernah berhenti memuji kecantikannya dalam hati. Larasati merebahkan tubuhnya di sofa dan memutar lagu yang di kirim oleh kekasihnya“Anyer 10 Maret” aku sampai hafal dengan liriknya, kadang aku juga meresapi setiap bait lagunya.

Aku melihat dia memejamkan mata, kalau sudah begitu aku tak berani mengganggunya atau nengajaknya bicara. Aku hanya melihatnya dari dapur yang berdekatan dengan ruang santai kesukaannya. Bait lagu yang kuingat “Kembalilah kasih” Banyak Tanya dalam benakku, apakah kekasihnya masih hidup, atau kekasihnya memang sudah meninggalkannya, karena selama aku tinggal dengannya aku tak pernah melihat wujud atau foto kekasihnya yang selalu dia rindukan.

“Mey…”
“Ya…”
Aku menghampirinya dengan Jus yang sudah kusiapkan. Dia membuka matanya dan
melihatku.
“Nanti malam kita belanja, yuk!”
“Belanja apa?”
“Beli baju dan ke salon”

Akhirnya malam itu kita pergi ke subuah butiq langganannya. Dia membelikanku gaun
dengan harga yang tak murah, warna merah darah dengan dada sedikit terbuka. Dia memintaku mencobanya, kulakukan dengan senang hati. Aku kelihatan anggun dengan gaun merek X, dia memujiku.

“Kamu catik sekali, May”
“Buat apa semua ini”
“Kita akan pergi ke pesta”
“Aku ikut?”
“Iyalah. Menemani aku”
“Habis ini kita kesalon menata rambutmu”

Malam ini dia membuatku tak percaya. Kita datang kepesta ulang tahun temannya. Dia menggandeng tanganku seperti seorang kekasih, di pesta itu banyak orang menyapanya, dia
melambaikan tangannya sebagai sapaan, aku tak bisa tersenyum wajahku tegang dan ini pertama kali aku datang ke pesta yang sungguh gemerlap.

Dia memperkenalkanku ke teman-temannya “Kenalkan, dia kekasihku” Aku seperti di
tampar mendengarnya. Aku tak perca apa yang Larasati lakukan kepadaku, dia berbisik di
telingaku “Lakukan dengan baik, Mey” bagaimana pun dia adalah majikanku, aku tak punya keberanian menolaknya. Malam itu. Dia menunjukkan ke semua orang yang hadir di pesta, bahwa kita adalah pasangan Lesbi.

Sepanjang perjalanan pulang kita berdua diam, di dalam mobil sangat sepi tak ada
pertanyaan atau penjelasan, perasaanku bercampur aduk berantakan. Sesampainya di rumah aku berusaha melupakan persoalan di pesta itu. Aku membukakan pintu kamarnya.
“Istirahatlah”
“Terima kasih, May”

Aku pun masuk kamar membersihkan riasanku dan melepas gaun yang aku kenakan.
tiba-tiba Larasti masuk ke kamarku.
“Aku ingin tidur denganmu malam ini”
“Ada yang ingi kamu ceritakan?”
“Iya”
“Katakan”

Dia menceritakan semuanya, akhirnya aku tahu alasan kenapa dia mengumumkan bahwa
dirinya Lesbi. Dia tak ingin orang lain tahu, kalau dia tak punya Rahim karena kista. Dia
memilih menjauh dari laki-laki yang kerap hanya menginginkan kesempurnaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here